Fungsi Pohon Aren dalam Sejarah Kota Bogor

pohon aren 2Dalam sejarah masyarakat Sunda, pohon aren tidak saja memiliki fungsi sosial, ekonomi ekologi dan budaya, tetapi juga memiliki nilai historis dalam pembentukan sebuah nama daerah di tatar Sunda, serta mempengaruhi perkembangan seni dan mitologi kasundaan. Hal ini menunjukkan bahwa para leluhur Urang Sunda sudah sangat memahami filosofi pohon aren sebagai tanaman multiguna ini hingga mengaitkannya dengan kebermaknaan hidup masyarakat di zamannya. Pemahaman ini melahirkan kepercayaan dan kepercayaan ini pun melahirkan sejumlah tradisi dalam bentuk seni, kebudayaan, serta pendekatan sejarah dan mitologi yang berpengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan masyarakat.
Secara mitologis, keberadaan pohon aren erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap Dewa-Dewi dan yang kemudian dilestarikan dalam sejumlah tradisi adat leluhur yanng masih dipegang teguh di beberapa daerah di Tatar Sunda. Dahulu kala dikisahkan, Sanghyang Guru mengutus Sanghyang Ismaya ke bumi untuk memeriksa kondisi pertumbuhan padi di lahan-lahan huma (ladang) penduduk. Mengingat saat itu hari sangat panas, Sanghyang Ismaya berteduh dan beristirahat di bawah pohon aren. Ketika istirahat, Sanghyang Ismaya melihat burung pipit putih yang dianggap sebagai hama padi, hinggap di tandan karangan bunga aren. Sanghyang Ismaya merasa khawatir pipit putih ini akan merusak padi. Maka, pipit tersebut diusir dengan cara dilempari batu. Namun, lemparan Sanghyang Ismaya tidak pernah mengenai pipit tersebut. Karena itu, dengan sangat marah Sanghyang Ismaya mengguncang-guncangkan tandan karangan bunga kawung dengan sangat kerasnya untuk mengusir pipit itu. Namun, burung tersebut tetap saja tidak mau terbang. Akhirnya, Sanghyang Ismaya mencoba membunuh pipit putih dengan menggunakan goloknya. Hunusan golok Sanghyang Ismaya tidak mengenai pipit, tetapi malah memangkas tandan karangan bunga aren sehingga pada ujung tandan karangan bunga aren tersebut keluar air yang rasanya manis. Karena ia sedang dahaga, air itu kemudian diminumnya. Sejak saat itulah, menurut cerita, tandan bunga aren dapat disadap untuk diambil niranya dan digodok untuk dijadikan gula kawung (Prawira Suganda: 1964).
Cerita ini berperan besar dalam membentuk pandangan masyarakat masa itu untuk memanfaatkan pohon aren sebagai sumber penghidupan, alat kehidupan dan menjaga kelestariannya meskipun saat ini jumlahnya kian menyusut karena belum ada pembudidayaan yang signifikan. Di beberapa daerah, mitos ini kemudian menjadi dasar untuk memegang teguh adat leluhur yang berkaitan dengan fungsi pohon aren. Misalnya, penggunaan pelepah aren dalam upacara adat yang berhubungan dengan panen padi, nyalin, ngalaksa dan sawen. Terlepas dari adanya fungsi secara logis dan ilmiah, kepercayaan yang berkaitan dengan mitologi dan budaya tidak bisa dikesampingkan dalam pengertian masyarakat, khususnya di pedesaan.
Hal-hal seperti ini tidak selalu negatif apabila dikaji berdasarkan kesederhanaan berpikir dan ketajaman prediksi nenek moyang kita zaman dulu terhadap keseimbangan dan kesinambungan hidup manusia dengan alam. Kenyataannya, pemikiran sederhana itu bisa berkembang menjadi sebuah pandangan yang bijaksana dalam menentukan banyak hal dalam menjalani kehidupan. Misalnya, dalam menentukan nama tempat yang kelak diharapkan membawa kebaikan dalam kehidupan generasi berikutnya.
Secara historis, pohon aren juga berperan dalam pembentukan nama Bogor Peran pohon aren ini berawal dari pendekatan filosofi atas makna kehidupan yang terkandung dalam kata tangkal kawung (pohon aren). Dalam filosofi Sunda, kata “bogor” berarti “tunggul kawung” (sisa penebangan pohon aren atau pokok enau) yang merupakan simbol kekuatan yang tak terduga. Arti kata bogor sebagai tunggul kawung dan maknanya sebagai kekuatan yang hebat ini terdapat pada sebuah pantun bogor, yakni Pantun Pa Cilong, “Ngadegna Dayeuh Pajajaran” yang berbunyi sebagai berikut :
Tah di dinya, ku andika adegkeun eta dayeuh laju ngaranan Bogor sabab bogor teh hartina tunggul kawung
Ari tunggul kawung emang ge euweuh hartina euweuh soteh ceuk nu teu ngarti
Ari sababna, ngaran mudu Bogor sabab bogor mah dijieun suluh teu daek hurung teu melepes tapi ngelun haseupna teu mahi dipake muput
Tapi amun dijieun tetengger sanggup nungkulan windu kuat milangan mangsa
Amun kadupak matak borok nu ngadupakna moal geuwat cageur tah inyana
Amun katajong?matak bohak nu najongna moal geuwat waras tah cokorna
Tapi, amun dijieun kekesed?sing nyaraho isukan jaga pageto bakal harudang pating kodongkang nu ngawarah si calutak
Tah kitu!ngaranan ku andika eta dayeuhDayeuh Bogor!
Di tempat itu, dirikanlah olehmu sebuah kota lalu beri nama Bogor sebab bogor itu artinya pokok enau/aren
Pokok enau itu memang tak ada artinya, terutama bagi mereka yang tidak paham
Sebabnya harus bernama Bogor?sebab bogor itu bila dibuat kayu bakar tak mau menyala tapi tidak padam, terus membara asapnya tak cukup untuk “muput” (semacam membuat api unggun besar untuk membakar sesuatu dalam jangka waktu yang cukup lama)
Tapi kalau dijadikan penyangga rumah mampu melampaui waktu, sanggup melintasi zaman (kuat dan tahan lama)
Kalau tersenggol bisa membuat koreng bagi yang menyenggolnya, koreng yang lama sembuhnya
Kalau tertendang/tersandung bisa melukai yang mendangnya, kakinya akan lama sembuhnya
Tapi, kalau dibuat kesed? Semuanya harus tahu besok atau lusa bakal bangkit berkeliaran memberi pelajaran kepada yang tidak tahu sopan santun
Begitulah, berilah nama olehmu kota tersebut Kota Bogor!

Pantun di atas menjadi dasar yang paling kuat tentang asal-usul nama kota Bogor. Dalam lakon itu dikemukakan bahwa kata bogor berarti tunggul kawung yang dianggap memiliki makna kekuatan besar yang tak terduga. Memberi banyak manfaat bagi masyarakat, khususnya untuk dimanfaatkan sebagai alat dan bahan pembuat rumah. Dalam pantun itu juga dijelaskan bahwa tunggul kawung bisa menimbulkan penyakit yang lama sembuhnya, jika dijadikan kesed, suatu saat akan bangkit memberikan balasan atas perbuatan tidak sopan. Ini bisa diartikan bahwa kekuatan yang tak terduga itu ialah kekuatan untuk memberikan pelajaran berharga kepada siapa saja yang menyepelekan keadaan orang lain agar lebih bisa memahami, mengamalkan tata krama atau etika dalam kehidupan bermasyarakat. Kenyataan yang banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat pedesaan bahwa harupat (semacam lidi yang terdapat pada jalinan ijuk) pada pohon aren bisa menyebabkan luka, borok dan koreng yang sulit dan lama sembuh jika tertusuk harupat itu. Jadi, walaupun sudah menjadi tunggul, pohon aren masih memiliki kekuatan yang cukup besar.
Penerapan dan pemahaman filosofis tersebut serupa dengan nama tempat Tunggilis yang terletak di tepi jalan antara Cileungsi dan Jonggol. Kata tunggilis berarti tunggul atau pokok pinang yang secara kiasan diartikan menyendiri atau hidup sebatang kara karena pada zaman dahulu daerah sepanjang Jonggol merupakan hutan lebat, sepi dari keramaian dan jauh dari pemukiman penduduk.
Di Jawa Barat sendiri banyak tempat bernama Bogor, seperti yang bisa ditemukan di Sumedang dan Garut. Demikian pula di Jawa Tengah, sebagaimana dicatat Prof. Veth dalam buku Java. Bogor selain berarti tunggul kawung, juga berarti daging pohon aren yang biasa dijadikan sagu (di daerah Bekasi). Dalam bahasa Jawa, bogor berati pohon enau dan kata kerja dibogor berarti disadap. Dalam bahasa Jawa Kuno, pabogoran berarti kebun enau. Dalam bahasa Sunda umum, menurut Coolsma, Bogor berarti “droogetapte kawoeng” (pohon enau yang telah habis disadap) atau bladerlooze en taklooze boom (pohon yang tak berdaun dan tak bercabang). Jadi, sama dengan pengertian kata pugur atau pogor. Hal ini menunjukkan bahwa meski sudah tidak menghasilkan nira, pohon aren masih memiliki manfaat lain bagi kehidupan masyarakat dan tetap memiliki kekuatan.
Lahirnya kota Bogor sendiri dipercaya berasal dari dokumen dan naskah tertua “Wangsakerta” yang mengandung nilai sejarah lebih tinggi di atas naskah-naskah tradisional Nama Bogor dapat ditemui pada sebuah dokumen tertanggal 7 April 1752. Dalam dokumen tersebut tercantum nama Ngabei Raksacandra sebagai hoofd van de negorij Bogor (kepala kampung Bogor). Dalam tahun tersebut, ibukota Kabupaten Bogor masih berkedudukan di Tanah Baru. Dua tahun kemudian, Bupati Demang Wiranata mengajukan permohonan kepada Gubernur Jacob Mossel agar diizinkan mendirikan rumah tempat tinggal di Sukahati di dekat Buitenzorg. Kelak karena di depan rumah Bupati Bogor tersebut terdapat sebuah kolam besar (empang), maka nama Sukahati diganti menjadi Empang.

Keterlibatan pohon aren dalam sejarah dan kehidupan masyarakat menunjukkan bahwa memiliki pengaruh yang kental dalam kehidupan masyarakat Sunda. Tidak sekedar memiliki fungsi fisik yang menghidupi kehidupan masyarakat, tetapi juga menjadi sebuah filosofi kehidupan masyarakat yang menandakan kedalaman makna harmoni antara manusia dengan alam dan penciptanya. Sebagai sebuah simbol yang melatarbelakangi sejarah pembentukan sebuah nama tempat, pohon aren menunjukkan kesejatiannya sebagai penopang kehidupan masyarakt, meskipun sudah menjadi tunggul.Ini juga menunjukkan bahwa nenek moyang kita dulu begitu bijak mengkaji, memanfaatkan dan memperlakukan alam hingga melahirkan filosofi dan nilai sejarah yang luhur. (Nia Hidayati)                                                                                                                               sumber : 1. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, Mumuh Muhsin Z, 2000; 2. Kolang-Kaling Sajian Buka Puasa , Johan Iskandar (cetak.kompas.com); www.sundanet.com; www.semestaindonesia.com

5 Replies to “Fungsi Pohon Aren dalam Sejarah Kota Bogor”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *