Menyalahkan orang lain atau diri sendiri sama-sama tidak baik. Sama-sama menyakitkan dan merusak hubungan dengan sesama manusia. Di saat perasaan sedang tak nyaman, menghadapi kegagalan, sakit hati dan marah, menyalahkan orang lain dan mengutuk diri sendiri biasanya menjadi hal pertama yang dilakukan. Mencari kambing hitam lebih sering didahulukan daripada mencari kebenaran. Di sinilah pentingnya belajar bersikap tenang dan bijak menghadapi setiap permasalahan.
Mengapa kita harus belajar berhenti menyalahkan?
Pertama, kesalahan bisa dilakukan siapa saja, termasuk orang-orang yang kita cintai. Namun, bukan berarti hubungan yang terjadi antarmanusia selalu didasari benar atau salah. Kesalahan itu pasti terjadi, baik besar maupun kecil. Besar dan kecilnya, ditentukan oleh cara pandang manusia itu sendiri, terlepas dari ada/tidaknya konsensus sosial melalui nilai dan norma yang menentukan besar kecilnya kesalahan itu. Semakin banyak menyalahkan orang lain, semakin sulit diri kita berkembang. Waktu yang kita punya, paling tidak akan habis buat memikirkan orang yang kita anggap salah itu. Akhirnya, kita melakukan apapun demi rasa marah terhadapnya atau bahkan kita tidak melakukan apa-apa, hanya sibuk mengutuk diri dan menyalahkannya.
Kedua, kegagalan dalam mencapai sesuatu memang sering berimbas kepada tindakan menyalahkan orang lain. Sekalipun ada unsur kesalahan itu, tidak seharusnya kita menjustifikasi secara mutlak bahwa itu kesalahan orang lain. Ketika kita menilai orang lain seperti pemikiran kita, orang juga akan menilai kita seperti itu. Prasangka baik sejatinya akan berbuah baik, demikian pula prasangka buruk. Sering-seringlah bertanya kepada diri sendiri, apa saja yang telah orang lain berikan untuk kita, sehingga kita akan menyadari betapa kita berutang banyak kepada orang lain dan harus berbuat baik kepada orang lain.
Ketiga, perlu kita ingat bahwa masalah dan konflik seringkali berawal dari hadirnya isu atau masalah merasa dirugikan. Kita merasa orang lain tidak pernah bisa memenuhi harapan kita, tidak sesuai dengan keinginan kita, sehingga tuntutan-tuntutan terhadap orang lain untuk bisa menjadi seperti yang kita harapkan semakin membesar. Sedikit saja orang tidak sesuai sama kita, kita merasa kecewa dan ujung-ujungnya bisa disalahkan. Padahal, kalau kita berpikir dalam, pikiran dan harapan orang lain kepada kita pun gak jauh berbeda.
Bagaimana caranya agar kita tidak terjebak dalam rasa bersalah dan menyalahkan?
Pertama, belajar bermuhasabah. Berintrospeksi diri dan belajar menerima kenyataan harus didahulukan supaya kita tidak larut dalam kemarahan, kebencian dan menyalahkan diri sendiri juga orang lain. Kedua, kembalikan semua pada porsinya, memaksimalkan ikhtiar, menyempurnakan doa. Jangan menyalahkan orang lain ketika kita gagal, dan jangan hal itu dijadikan senjata untuk menutupi kegagalan kita karena akan berakibat fatal bagi perkembangan diri kita sendiri. Sikap seperti ini hanya akan menjadi pola kegagalan yang berakar dalam diri kita, yang bisa menjadikannya sulit diperbaiki.
Cara Menjadi Diri Kita Apa Adanya
Diri kita adalah apa yang ada di pikiran kita. Who am I? I am what I think.
Menjadi diri apa adanya memang gampang-gampang susah. Kecenderungan orang ingin tampil sempurna di mata orang lain, sehingga reaksi orang selalu positif terhadap dirinya. Ada kalanya manusia lebih peduli terhadap pendapat dan pandangan orang lain dibandingkan dengan dirinya sendiri. Banyak meniru dan mencontoh gaya orang lain yang belum tentu sesuai dengan dirinya.
Menjadi diri apa adanya bukan berarti bisa bertingkah sekehendak hati, tanpa memikirkan orang lain. Bersikap apa adanya berarti menyesuaikan keinginan dengan kemampuan diri tanpa melebih-lebihkan diri.Siapapun bisa belajar menjadi dirinya sendiri tanpa merasa takut dipandang rendah oleh orang lain. Beberapa tips sederhana berikut ini, mungkin bisa kita pelajari dan terapkan dalam keseharian kita.
Pertama, mensyukuri apa yang diterima. Bersyukur merupakan kemampuan yang menakjubkan. Rasa syukur menjadi siraman kesejukan jiwa yang menuntun kepada qanaah, sabar dan ikhlas, terutama di saat kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Syukur lahir dari rasa menerima apa adanya, meyakini bahwa ada pembelajaran terbaik (hikmah) di setiap kejadian. Rasa syukur juga menumbuhkan sikap yang senantiasa membumi, sehingga merasa lebih beruntung dibandingkan orang yang lebih menderita daripada kita.
Kedua, belajar untuk tidak selalu menyenangkan orang lain. Artinya, belajar untuk tidak terlalu peduli dengan komentar miring, pandangan dan pendapat orang lain tentang diri kita, selagi kita di posisi yang benar dan tidak merugikan banyak orang. Mungkin selama ini kita terlalu berusaha untuk bisa diakui, diterima dan dicintai orang lain, sehingga tanpa kita sadari kita bertindak sesuai keinginan banyak orang, mengabaikan kata hati sendiri. Jika pendapat orang menekan kita, bersikaplah lebih asertif, tidak reaksioner dan mengintrospeksi diri.
Ketiga,belajar untuk tidak mencari pujian dan terima kasih sebagai pengakuan atas apa yang kita lakukan. Setiap orang memang butuh pengakuan untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya. Namun, tujuan akhir yang kita tetapkan dalam melakukan sesuatu harus diutamakan karena tujuan akhir itulah bagian dari kesempurnaan setiap kegiatan kita. Lakukan dengan ikhlas, percaya diri dan jangan terpaku pada penilaian orang. Pujian bukan satu-satunya kebutuhan kita karena yang terpenting adalah bagaimana kita melakukan sesuatu secara optimal.
Keempat, mencari sisi terang dari setiap hal, termasuk dari diri kita. Ketika sesuatu yang buruk terjadi, jangan selalu menyerah pada sisi gelapnya, kita coba cari sisi terangnya.Tidak ada sesuatu yang benar-benar hitam atau putih, kitalah yang wajib memisahkan hitam dan putih. Carilah sisi positif dari diri kita, jangan selalu memvonis diri sendiri atau orang lain “selalu salah”, tak berguna dan tidak bisa berubah. Kita bisa mendapatkan yang kita minta jika kita berusaha dengan cara yang tepat, karena kita memiliki kelebihan dan pasti ada sisi baik dari setiap hal yang harus kita temukan.
Kelima, jangan membandingkan diri dengan orang lain secara tidak adil. Setiap hal memiliki 2 sisi, sisi baik dan buruk. Masalahnya ada dalam cara pandang kita. Jangan gunakan standard ukuran orang lain untuk menilai diri kita, begitu pun sebaliknya. Belajarlah untuk tidak terlalu sering mengkritik diri sendiri agar potensi positif dalam diri kita semakin berkembang.
Keenam, mencari keselarasan dan keseimbangan. Ketika ada tuntutan dari dalam dan luar diri kita, pikirkan dengan matang. Apakah tuntutan itu sesuai dengan kemampuan kita. Perlu diingat bahwa kita tak bisa melakukan segala hal yang kita pikir mampu kita lakukan. Pikiran seperti ini akan membebani. Lebih baik kita tetapkan rencana, tujuan dan strategi yang lebih realistis. Keseimbangan antara keinginan dengan kemampuan sangatlah penting untuk menjaga kontinuitas spirit dan motivasi diri.
Ketujuh, belajar menikmati proses tanpa mengesampingkan tujuan. Setiap orang memang cenderung mengutamakan hasil daripada proses. Pandangan seperti ini perlu diubah karena dalam banyak hal proses menjadi hal penting. Hasil dari sesuatu sangat ditentukan oleh proses. Kalau kita malas berproses, maka kita juga tidak mungkin berhasil. Proseslah yang sesungguhnya membentuk diri kita. Fokus dan konsentrasi kita tercurah untuk proses yang dijalani, sehingga kalau tidak bisa menikmatinya, hasilnya pun akan berbeda dari yang diharapkan. Ingat, nilai keberhasilan itu tergantung kepada cara kita menjalani proses.
Kedelapan, belajar untuk menghilangkan sifat perfeksionis dalam segala hal. Banyak orang yang menjauhi orang-orang yang memiliki sifat seperti ini. Kita boleh saja menuntut keistimewaan, tetapi kita perlu membatasi kesempurnaan dan keistimewaan pada hal-hal tertentu saja. Boleh saja sesekali kita mencoba melakukan hal-hal yang terlihat tak sempurna, seperti membuat kue bolu yang bantet, toh dunia tidak akan terbalik ketika bolu buatan kita bantet. Menghilangkan sifat perfeksionis penting untuk menciptakan kedamaian dan kenyamanan diri kita. Tanpa kita sadari, seringkali kita mengkritik orang-orang yang kita cintai hingga mereka merasa apapun yang mereka lakukan selalu salah, tak bisa menyenangkan kita. Lalu, coba kita rasakan ketika menghadapi orang yang tidak sabar. Mungkin seperti itulah kita memperlakukan orang lain.
Pentingnya Curhat atau Bertukar Pikiran Bagi Psikologi Manusia
Curhat (curahan hati) dibutuhkan setiap orang karena tak selamanya manusia bisa mengatasi kegundahan, mengadukan kegelisahan, menguraikan rasa sakit hati dan menyelesaikan permasalahannya sendiri. Curhat bisa juga ditindaklanjuti sebagai aktivitas berbagi pengalaman, bertukar pikiran dan berbagi perasaan, terutama dengan orang-orang terdekat yang kita percayai.Karena itu, curhat menjadi kebutuhan psikis yang dianggap penting oleh banyak orang.
Sebagai ajang berbagi, curhat memiliki banyak manfaat, asal dicurahkan kepada orang yang tepat. Pertama, melegakan dan menenangkan perasaan. Di saat sedih dan gundah, kita butuh teman walaupun hanya untuk sekedar mendengarkan keluh kesah kita. Curhat kepada sahabat, keluarga dan orang-orang terdekat paling tidak bisa meringankan beban yang menghimpit perasaan. Apalagi jika orang tempat kita curhat memberikan respon yang baik. Hati dan pikiran kita bisa jauh lebih tenang.
Kedua, curhat bisa membuat hubungan semakin dekat dan erat, baik dengan keluarga maupun sahabat. Kedekatan timbul karena rasa nyaman, rasa percaya dan adanya rasa menghargai dan dihargai. Orang yang jadi tempat curhat akan merasa dihargai dan dipercaya karena umumnya curhat menyangkut masalah pribadi, sehingga ia juga bisa lebih memahami pribadi sahabatnya yang curhat tersebut. Demikian pula orang yang curhat, dengan adanya respon dari pendengar curhatnya, ia merasa dihargai, dimengerti dan merasa orang tersebut bisa dipercaya. Saling percaya, saling memahami dan pengertian merupakan factor yang bisa mempererat dan melanggengkan hubungan antarmanusia.Di sisi lain, kita bisa jadikan curhat sebagai alat komunikasi yang bisa mempererat hubungan dengan Yang Maha Sempurna. Mengadu dan memohon petunjuk melalui doa, selain bisa menenangkan juga bisa meningkatkan kehusyukan dalam beribadah.
Ketiga, curhat bisa membuat kita mendapatkan pencerahan dan solusi yang baik, terutama jika kita curhat kepada orang yang betul-betul tepat dari segi profesi, dan kualitas dan kredibilitasnya. Misalnya, para ahli yang dianggap mampu menangani permasalahan yang dihadapi. Secara teoritis, para ahli memiliki kemampuan ilmiah dan logis dalam memahami permasalahan kita. Mereka juga umumnya lebih berpengalaman menangani permasalahan yang beragam, sehingga bisa membantu memberikan gambaran solusi dan memberikan pencerahan terhadap hati dan pikiran kita. Dokter, psikolog, counselor dan para ulama merupakan contoh para pakar yang professional dan memiliki kode etik yang dipertanggungjawabkan terhadap Tuhan dan makhluk-Nya. Idealnya, aman jadi tempat curhat karena bisa menjamin kerahasiaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, kegiatan curhat bahkan dikemas dan dimodifikasi menjadi bentuk yang lebih variatif. Misalnya, menjadi media dakwah yang bisa ditonton dan memberikan tuntunan juga. Curhat interaktif melalui media dan teknologi yang komunikatif mengenai permasalahan sehari-hari yang berkaitan dengan pandangan dan hokum agama, sejatinya bisa menjadi pencerahan dan wawasan keilmuan yang memperkaya batin kita.
Namun, perlu diingat bahwa sesuatu yang menyangkut makhluk selalu memiliki 2 sisi, manfaat dan mudharat. Mudharat curhat sebetulnya lebih kepada pilihan kita sendiri, baik waktu, tempat maupun orang yang kita jadikan tempat curhat. Curhat kepada orang yang tidak tepat bisa menambah masalah baru. Bisa saja rahasia atau aib kita menjadi tersebar karena yang dijadikan tempat curhat tidak amanah. Mungkin juga kita terlalu banyak “mengumbar” curhat kepada banyak orang, sehingga tidak mendapatkan solusi yang semestinya. Biasanya, semakin banyak orang tahu dan terlibat dalam suatu masalah, terutama masalah pribadi, masalah malah melebar dan sulit diselesaikan. Keterlibatan banyak orang yang tidak benar-benar memahami inti masalah umumnya memang bisa memperkeruh suasana yang akhirnya kita juga yang kebingungan dan terbebani.
Jangan salah pilih sahabat untuk curhat dan jangan jadikan tempat curhat kita sebagai “pembuangan” semata. Kalau masalahnya sudah bisa dipecahkan, seolah-olah tidak dibutuhkan lagi, sehingga ia merasa dibuang dan tidak dihargai. Perlu kita ingat bahwa curhat tidak sekedar berkeluh kesah, tetapi juga berbagi pengalaman dan bertukar pikiran. Saling, itu berarti ada timbal balik antara keduanya kan? Ya, kita upayakan kita juga bisa menjadi tempat curhat yang baik bagi orang lain, supaya manfaatnya betul-betul dirasakan bersama.
Curhat itu penting, tetapi pilih orang yang tepat untuk dijadikan tempat curhat. Tepat secara profesi, sifat dan kepribadiannya, serta tepat waktu dan tempatnya. Pada akhirnya, semua kembali kepada diri kita sendiri. Curhat hanya sebuah media untuk mengkomunikasikan permasalahan dan tempat berbagi untuk mendapatkan pencerahan atau solusi yang baik. Keputusan tetap ada pada diri kita sendiri. Sebaik-baik tempat curhat hanyalah Allah Yang Maha Mengetahui segala isi hati.
Pentingnya Pendidikan Seks untuk Anak
Pendidikan seks sudah bukan bahasan baru di kalangan ahli pendidikan dan pakar seksologi. Pemahaman akan pentingnya pendidikan seks perlu dimiliki siapa saja, termasuk para guru dan orang tua. Membicarakan seks dengan si kecil bukan lagi masalah tabu atau tidak tabu, tetapi lebih kepada pengenalan dan perlindungan diri untuk bekal pribadinya kelak.
Bicara seks tidak selalu diasumsikan dengan sesuatu yang porno atau jorok karena jika dilihat dari arti katanya secara harfiah, khususunya dalam bahasa Inggris, seks itu menunjukkan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Berkaitan dengan hal itu, pendidikan seks penting untuk dilakukan karena memiliki manfaat bagi orang tua dan anak.
Pertama, anak dapat mengenal identitas dirinya karena secara tidak langsung, pendidikan seks mengajarkan tentang gender. Si kecil yang perempuan harus diajarkan untuk bias membedakan dirinya dengan teman-temannya yang laki-laki, sehingga ia memiliki batasan-batasan tertentu dalam pergaulannya dengan lawan jenis ataupun sesama jenis, serta bias menunjukkan kelaki-lakiannya atau keperempuanannya dan mengenali diri kelelakiannya atau keperempuanannya.
Kedua, pendidikan seks membantu dalam pembentukan kepribadian anak, terutama dalam pola tingkah laku, cara bersikap dan gesture-nya kelak. Pendidikan seks mengajarkan cara memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan sebagaimana mestinya, mulai dari cara berpakaian, cara bersikap, cara berbicara, cara mengenal dan melindungi organ-organ pentingnya, serta jenis mainan yang sesuai. Meskipun kesetaraan gender berlaku umum, untuk hal ini, ada pengecualian karena berkaitan dengan perkembangan kepribadian anak. Jangan sampai karena salah pola asuh, anak laki-laki bersikap dan berkepribadian seperti perempuan atau pun sebaliknya.
Ketiga, dengan menerapkan pendidikan seks sejak dini, anak diajarkan untuk bertanggung jawab, belajar menjaga diri, serta menghargai diri sendiri dan orang lain. Sejak kecil orang tua seharusnya sudah melakukan pembelajaran mengenai perbedaaan anak laki-laki dengan anak perempuan. Misalnya, mengapa anak laki-laki pipisnya berdiri, sedangkan anak perempuan harus jongkok. Mengapa anak laki-laki diberi mainan mobil-mobilan, sementara anak perempuan diberi boneka, anak perempuan pakai rok, anak laki-laki pakai celana panjang, bahkan menanamkan pemahaman agar anak mengerti bagian-bagian seksual yang tidak boleh disentuh sembarangan orang, kecuali oleh ibunya saat memandikannya. Ketika menjelang akil balig, anak perempuan pun harus diberi pemahaman bahwa ia akan mengalami menstruasi, mengalami proses perkembangan organ-organ tubuh, sehingga tidak boleh bergaul atau berhubungan sembarangan dengan lawan jenis.
Tabu seringkali menjadi kendala besar dalam mengenalkan pendidikan seks kepada anak, sehingga tidak sedikit anak yang mencoba mencari tahu sendiri dengan menonton video porno, membaca buku-buku yang menjurus jorok atau gambar-gambar yang tidak pantas dilihat. Padahal, mengkomunikasikan pendidikan seks dengan anak tidak harus selalu membicarakan yang berbau porno. Memilihkan pembalut yang tepat, memberi tahu cara mengatasi nyeri haid, menyediakan bra yang pas untuk anak perempuan itu sudah menjadi indikasi penerapan pendidikan seks.
Rasulullah SAW pun pernah memberikan contoh dan pengajaran mengenai pendidikan seks, seperti harus memisahkan tempat tidur anak laki-laki dengan perempuan, melarang bertelanjang diri sekalipun dihadapan sesama jenis, mengajarkan cara bersuci dan tanda-tanda akil balig, serta yang paling penting penanaman moral dan akhlak. Pendeknya, pendidikan seks itu harus dilakukan secara marathon dan disesuaikan dengan perkembangan usia anak.
Cara Membangun Kepribadian dan Karakter
Self image atau citra diri merupakan cara orang lain memandang diri kita. Ada orang yang memandang baik, buruk, terlalu tinggi bahkan terlalu rendah terhadap diri kita. Semua itu memiliki risiko tersendiri bagi pribadi yang dicitrakan. Dipandang rendah oleh orang lain, pasti tak enak. Dipandang terlalu tinggi pun kadangkala membuat kita merasa tidak nyaman.
Citra diri berkaitan erat dengan kepribadian dan karakter seseorang. Membangun self image harus dimulai dari pengenalan dan pemahaman akan diri sendiri. Karakter dan kepribadian kita terbentuk bukan semata-mata karena penilaian orang lain, tetapi juga karena factor internal seperti mental, kepercayaan diri, factor emosi, kecerdasan, sikap dan perilaku, serta keyakinan. Kita diharuskan untuk menjaga citra diri di hadapan orang lain karena hal itu mencerminkan kredibilitas pribadi kita. Namun, penempatannya harus tetap proporsional supaya kita tidak terkesan menjadi orang lain. Ja-im sih boleh-boleh saja, tetapi jangan berlebihan. Yang tulus dan natural tetap lebih disukai.
Sebetulnya,citra diri kurang bersinergi dengan tampilan fisik seseorang. Namun, stereotype tertentu kadang-kadang menilai sebaliknya, sehingga tidak sedikit orang yang salah menilai diri orang lain. Penampilan bukan tidak penting untuk membangun citra diri seseorang, tetapi factor kepribadian seperti keseimbangan emosi, kecerdasan pikiran dan tingkah laku lebih membentuknya.