Mengapa Anak Bisa Stres?

 

Stress bisa dialami siapa saja. Dalam dunia yang semakin cepat berubah dengan tingginya tingkat persaingan, stres bisa menyerang siapa saja, tidak terkecuali anak-anak. Masa perkembangan anak yang diwarnai berbagai kegiatan untuk memuaskan keingintahuan mereka bisa terganggu karena stres. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan anak-anak tidak lepas dari masalah yang kadangkala sulit mereka pahami dan mereka sikapi, sehingga membuat mereka terbebani dan stres. Jika tidak dikontrol dan diatasi dengan baik, hal ini bisa merenggut keindahan masa kecil anak, serta mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara fisik maupun mentalnya.

Stres secara medis dapat diartikan sebagai sebuah stimulasi fisik dan psikologis yang menghasillkan reaksi yang bersifat mental dan fisiologis yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Sedangkan secara teknis, stres merupakan serangan yang merusak keseimbangan tubuh (homeostatis) yang dipicu oleh pengalaman yang tidak menyenangkan, baik yang nyata maupun tidak nyata.

Mengapa anak bisa stres?
Secara umum, kita sering memandang dunia anak sebagai dunia bermain yang penuh kesenangan, keceriaan imajinasi dan kebebasan berekspresi. Idealnya memang seperti itu agar perkembangan anak optimal. Akan tetapi kenyatannya, dunia dan kehidupan anak-anak tidak lepas dari pengaruh lingkungan di luar diri mereka, yang bisa berdampak positif maupun negatif. Perubahan yang terlalu cepat, ketidakteraturan kondisi, ketatnya persaingan, serta besarnya tuntutan yang harus mereka penuhi, bisa membuat mereka terbebani, tertekan, bosan, jenuh dan stres. Tuntutan untuk menjadi yang terbaik, harus berprestasi di sekolah atau harus mengikuti les (ini itu) supaya pintar, dalam kondisi tertentu justru membuatnya “down”. Tuntutan seringkali tidak diperhitungkan dengan kapasitasnya sebagai anak-anak dan tidak diseimbangkan dengan bekal ketahanan fisik juga kesiapan mentalnya, sehingga tanpa kita sadari banyak anak-anak yang mengalami stres karena tuntutan orang tuanya.

Stres akan mengganggu perkembangan anak. Potensi kecerdasan dan kreativitas anak akan terhambat karena situasi dan kondisi yang dirasa menekannya membuatnya tidak nyaman. Padahal, kecerdasan kreatif anak merupakan aset berharga dalam menghadapi kehidupannya kelak. Dalam kondisi stres dan tertekan, otak anak tidak akan bekerja maksimal dan hanya merekam kejadian, pikiran dan perasaan negatif. Dorongan perasaan dan pikiran negatif dalam diri anak akan menyerang sistem kekebalan tubuhnya, sehingga kondisi anak menjadi lemah dan gampang sakit. Hal ini tentu sangat mengganggu proses optimasi perkembangan anak, terutama anak-anak usia balita, serta anak-anak yang memasuki fase akhir 7 tahun pertamanya menuju fase awal 7 tahun keduanya.

Sebagai orang terdekat anak, orang tua sudah seharusnya memahami dan memperhatikan kebutuhan anak. Stres pada anak bisa saja terjadi karena kurangnya kepedulian dan pemahaman kita terhadap kebutuhan si kecil. Mengenali gejala stress, memahami penyebabnya dan berupaya melakukan penanggulangannya merupakan salah satu tindakan orang tua untuk memenuhi kebutuhan mental-psikologis anak. Dalam praktiknya, tentu saja hal ini akan bersinergi dengan pemenuhan kebutuhan fisiknya. Dengan memiliki kesadaran, kepedulian dan perhatian akan setiap perubahan dalam diri anak, stres bisa diatasi lebih dini agar tidak mengganggu perkembangan anak.

Gejala Stres pada Anak

Gejala stres pada anak tidak mudah untuk dikenali, dan biasanya anak-anak yang mengalami stres pun tidak mengetahui bahwa mereka sedang dalam kondisi stres. Kemampuan dan pemahaman orang tua dalam mengenali tanda-tanda stres pada anak sangat membantu agar anak menyadari situasi yang mereka alami, sehingga orang tua bisa mulai menyiapkan anak-anaknya menghadapi stres.

Gejala stres pada anak, umumnya merupakan gejala fisik, emosi, kognitif dan tingkah laku.

  • Gejala fisik umumnya ditandai dengan anak sering mengompol (padahal di usianya itu, ia sudah tidak sering ngompol lagi), sulit tidur, nafsu makan terus menurun, sakit perut, sakit kepala, gagap dan sering mimpi buruk.
  • Gejala emosi yang paling sering terlihat ialah anak merasa bosan (bahkan dengan hal-hal yang selama ini cukup dia sukai), kemauan dan keingintahuannya melemah, tidak partisipatif dalam kegiatan di rumah atau sekolah, sering marah-marah dan menangis, sering berbohong, bersikap kasar terhadap teman atau anggota keluarga yang lebih kecil, suka melanggar dan memberontak terhadap aturan-aturan, serta sering bereaksi secara berlebihan terhadap masalah-masalah kecil.
  • Gejala kognitif biasanya ditunjukkan dengan malas, tidak mampu berkonsentrasi dan sulit menyelesaikan pekerjaan atau tugas-tugas sekolah, suka melamun dan menyendiri dalam waktu yang lama.
  • Gejala tingkah laku merupakan gejala yang lebih sering dikenali perubahannya dalam diri anak. Biasanya, anak menunjukkan rasa tidak senang dan memusuhi, menunjukkan ketidakmampuan mengontrol emosi, keras kepala, suka membantah dengan sikap dan kata-kata kasar, temperamen yang berubah-ubah dan perubahan dalam pola tidur, serta munculnya kebiasaan-kebiasaan baru seperti mengisap jempol, memutar-mutar rambutnya, atau mencubit-cubit hidung

Sumber Penyebab Stres pada Anak

Selain mengenali dan memahami gejala stress pada anak, orang tua juga harus mengetahui sumber-sumber penyebab stres pada anak. Mengetahui penyebab lebih awal akan membantu kita untuk melakukan penanggulangan dampak dengan lebih baik. Secara umum, ada 2 faktor penyebab sres pada anak, yaitu faktor internal, seperti rasa lapar, rasa sakit, sensitif terhadap suara gaduh, ribut, keramaian orang dan perubahan suhu, serta  faktor eksternal yang meliputi faktor orang tua, keluarga, sekolah, teman atau lingkungan anak tersebut.

Faktor internal
Faktor ini berkaitan dengan kemampuan fisik dan kesiapan mental anak menghadapi hal-hal yang bisa membuatnya stress, sehingga anak perlu dibekali kesiapan menghadapi stres sejak masa kecilnya agar anak dapat menikmati kebahagiaan masa kecilnya. Dalam kondisi tertentu, rasa lapar dan rasa sakit seringkali memicu amarah si kecil, uring-uringan dan marah-marah. Dorongan rasa lapar atau rasa sakit yang sangat bisa membuatnya tidak mampu mengontrol emosi dan keinginan mengelurakan emosi negatifnya sangat tinggi. Tidak terpenuhinya keinginan akan makanan tertentu yang dia suaki atau rasa sakit yang tak kunjung hilang bisa membuatnya meledak-ledak karena daya tahannya menurun, sehingga stres dengan mudah menyerangnya. Perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu juga bisa membuat kita stres karena kita sulit menyesuaikan diri. Anak-anak pun demikian, sehingga hal ini berpengaruh terhadap semangat dan kemauannya. Banyak pula anak-anak yang mengalami stres di keramaian orang, dengan suasana keributan dan gaduh.

Faktor eksternal

  • Orang tua dan keluarga
    Hubungan kedua orang tua yang tidak harmonis, konflik rumah tangga, pertengkaran, perceraian dan perubahan komposisi dalam keluarga bisa membuat anak-anak stres. Misalnya, Ayah dan Ibu bercerai, lalu menikah lagi dan ia punya saudara tiri. Hal ini sangat memberatkannya karena ia belum tentu bisa cepat beradaptasi dan menerima kenyataan. Selain itu, adanya tuntutan orang tua terhadap anak untuk selalu menjadi yang terbaik atau berprestasi akademik bagus bisa membuatnya tertekan. Penting juga untuk diperhatikan bahwa sikap orang tua yang suka melakukan labelling (seperti anak bodoh, anak nakal,dll.) atau membanding-bandingkan antaranggota keluarga, seperti adik lebih pintar dari kakak atau kakak lebih rajin daripada adik bisa menimbulkan stres pada anak. Walaupun tujuannya untuk memotivasi, efeknya negatif terhadap psikologisnya bisa sangat fatal karena anak bisa menjadi pribadi yang tidak percaya diri, selalu merasa rendah dan gagal, serta tidak mandiri dan takut salah. Tujuan yang baik harus disampaikan dengan cara yang baik dan bijaksana.
  • Sekolah
    Tugas sekolah atau pekerjaan rumah (PR) yang bertubi-tubi dan bertumpuk, bisa membuat anak kewalahan, lelah dan stres. Materi pelajaran yang terlalu banyak dan padat, serta jam sekolah yang terlalu lama juga bisa menimbulkan stress. Di samping itu, suasana belajar yang tidak nyaman dan metode pembelajaran yang kurang efektif (kurang menyentuh aspek emosional/afektifnya) bisa membuat anak sulit mengikuti dan menyesuaikan kemampuannya, sehingga lama-lama anak menjadi malas, jenuh dan stres menghadapi pelajaran di sekolah. Memaksakan anak mengikuti kegiatan les atau kursus tertentu yang tidak sesuai dengan keinginannya juga bisa menimbulkan hal yang sama.
  • Lingkungan
    Meskipun dunia anak dunia bermain, dalam praktiknya lingkungan  bermain pun bisa membuatnya stress. Pertengkaran yang berlanjut menjadi sebuah permusuhan hingga terjadi kekerasan sesama teman (bulliying) bisa membuatnya takut bermain di luar rumah dan enggan berteman karena anak merasa dijahati dan stres ketika ia merasa tidak mampu melawan. Tayangan atau tontonan yang tidak mendidik, menonjolkan kekerasan juga merupakan faktor yang perlu diwaspadai karena memicu proses imitasi (meniru), serta berkembangnya emosi dan tingkah laku negatif, seperti suka membentak, berkata-kata kotor, bersikap kasar, ketakutan, cemas dan marah yang meledak-ledak. Selain itu, kehilangan sesuatu yang berharga pun misalnya mainan atau hewan kesayangan, serta kehidupan sehari-hari yang cepat berubah dan tidak teratur (dengan baik) bisa menyebabkan stres.

Masa kecil merupakan masa keemasan anak. Stres bisa mengubah masa kecil anak menjadi tidak menyenangkan dan mengganggu perkembangan fisik juga mentalnya. Stres yang dialami anak bisa berdampak terhadap perubahan pola tingkah laku mereka. Jika hal ini dibiarkan, dalam jangka panjang akan berakibat buruk bagi perkembangan keperibadiannya. Menurut  Christine M. Todd, seorang spesialis human development dari University of Illinois Cooperative Extension, dari semua penyebab stres, stres fisik merupakan faktor utama yang menyebabkan munculnya masalah tingkah laku pada anak. Rasa lapar, mengantuk atau kurang tidur, serta adanya tekanan peringatan atau omelan atas tingkah laku tidak baik bisa membuat anak bereaksi cepat, sehingga terjadi perubahan tingkah laku yang diindikasi sebagai gejala stres.

Anak merupakan aset kehidupan yang akan menjadi generasi penerus keturunan orang tuanya. Stres yang bisa berlanjut menjadi depresi dapat merenggut kebahagiaan dan keceriaan masa kecilnya, sehingga proses perkembangan anak menjadi terhambat. Anak cerdas dan berakhlak mulia tentu harus sehat secara jasmani dan rohaninya. Dengan memahami gejala dan sumber penyebab stres, diharapkan kita para orang tua dapat mengatasinya, sehingga sang buah hati menjadi sumber energi yang memperkaya hati dan pemikiran kita. Insya Allah (Nia Hidayati)

8 Replies to “Mengapa Anak Bisa Stres?”

  1. wah bisa sering2 berkunjung kesini nih, saya sangat menyukai psikologi mbak, terutama psikologi perkembangan remaja&anak 😀
    *soalnya dulu ga sempat selesai kuliah psikologi hehehe*
    salam kenal

  2. Assalamu’alaikum…. Mba, salam kenal ya. Pingin deh kenal lebih jauh lagi. Liat tulisannya mba, jadi merasa banyak salahnya sama anak2. Makasih ya, untuk nasehat yang berharga banget ini. Moga senantiasa memberi manfaat bagi perbaikan akhlak para orang tua (terutama aku) 🙂

  3. waah.. sya izin nyedot ya teh. sangat membantu. makasih banyak..
    smoga terus berkembang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *