Arti Kebersamaan dalam Segelas Beras Perelek

Kebersamaan merupakan sisi kehidupan yang unik dan penuh pembelajaran. Memberi arti untuk setiap aktivitas yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menyentuh rasa kemanusiaan yang seringkali menguap, tersapu belenggu kakuan. Arti kebersamaan, bukan sekedar slogan, melainkan pemahaman, penerapan dan pengelolaan yang diupayakan untuk terus membudaya. Arti kebersamaan, saya temukan dalam segelas beras, menjadi tanda solidaritas dan kepedulian kaum jelata atas kelangsungan kehidupan sosial yang harmonis.

Sebuah pemikiran dan cara sederhana yang terlihat biasa, ternyata bisa memberikan dampak luar biasa bagi kita yang mau membaca kehidupan. Segelas beras mungkin tak berarti apa-apa ketika saya melihatnya sebagai benda dan tidak memahami arti di balik keberadaannya. Segelas beras yang tergantung di dinding dekat pintu rumah Ibu menyimpan cerita yang pantas direnungkan.

Kepindahan saya ke kota tempat tinggal keluarga, ternyata memberi banyak pembelajaran. Awalnya, saya tidak terlalu peduli dan tidak begitu memperhatikan keberadaan gelas plastik bekas air mineral kemasan yang menggantung di dinding dekat pintu rumah. Saya menduga, gelas tersebut hanya untuk mengisi air minum buat burung atau ayam peliharaan. Dugaan itu meleset jauh karena ternyata gelas plastik tersebut bukan diisi air, melainkan beras yang biasa digunakan sebagai bahan makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia. Ketertarikan dan rasa penasaran mulai memenuhi benak saya. Untuk apa segelas beras itu? Kalau hanya untuk pakan ayam atau burung mengapa harus digantung di dinding?

Suatu pagi selepas subuh, saya iseng memperhatikan gelas plastik tersebut. Kosong dan menelungkup meskipun tidak sampai jatuh dari paku tempatnya menggantung. Sambil menyapu halaman, tanpa sengaja saya melihat rumah para tetangga, semuanya ada gelas plastiknya. Ada yang digantung di dekat pintu, ada yang digantung di pagar bahkan ada yang digantung tepat di pintu rumahnya. Saya kembali menduga, mungkin untuk para pengemis yang kadang kala lewat, menelusuri pemukiman kami. Akan tetapi, mengapa kalau siang hari gelas-gelas itu kosong? Apa sebenarnya arti segelas beras itu?

Menjelang maghrib, Ibu meminta saya untuk mengisikan beras ke gelas plastik itu. Dengan antusias saya menanyakan fungsi dan arti segelas beras tersebut. Menurut Ibu, segelas beras itu setiap malam diambil oleh para petugas ronda atau siskamling. Beras itu, sebagian digunakan untuk makan para petugas ronda, sisanya dikumpulkan untuk dijual. Hasil penjualannya akan digunakan untuk tambahan pembayaran listrik mesjid dan madrasah di kampung kami atau untuk kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial warga, seperti kematian, sakit keras atau kebakaran. Kelihatannya sepele dan tidak memungkinkan segelas beras bisa digunakan untuk kegiatan sebanyak itu. Itulah rejeki yang diberikan dengan tulus, walapun sedikit tetap membantu. Di sini, mayoritas penduduk terkategori kurang mampu. Mereka umumnya bekerja sebagai buruh kasar, pedagang kecil dan buruh tani di tanah garapan para pemilik villa. Kalau harus dipungut uang ronda tiap bulan, tidak akan cukup untuk biaya hidup mereka sehari-hari. Karena itu, melalui musyawarah warga disepakati untuk mengumpulkan beras sesuai kemampuan mereka. Aturan fleksibelnya satu gelas plastik tadi.

Beras yang dikumpulkan warga kadang kala tidak sampai segelas penuh, setengah gelas pun diterima, yang penting partisipasi dan kesadaran warga terpupuk juga membudaya karena ini untuk kepentingan bersama. Kalau memang tidak bisa, warga juga tidak diharuskan mengisi gelas itu tiap hari, semampunya mereka saja. Akan tetapi, dalam seminggu sekali warga sempat mengisinya.Uang ronda disepakati hanya dikenakan bagi warga yang mampu dan berpenghasilan tetap. Ya, sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Yang penting saling menjaga kepercayaan, jujur,  terbuka, dan ikhlas untuk kebersamaan. Alhamdulillah belum pernah terjadi kecurangan, kalau pun ada cepat ditindaklanjuti agar tidak mencemari yang lain dan tidak saling mencurigai. Kecurigaan yang berbuah prasangka seringkali menimbulkan masalah yang mengganggu ketentraman dan keharmonisan. Beras itu kan lambang keadilan, kemakmuran, kesuburan dan gotong royong masyarakat, jadi memiliki peran penting dalam menciptkan kebersamaan dan kerukunan. Begitu yang saya tangkap dari penjelasan Ibu.

Hm, sebersit haru tersisip di hati, rasa kagum saya pun mulai menjalar atas semangat berbagi Ibu dan warga lainnya. Bahan makanan pokok yang beberapa tahun terakhir ini harganya terus melambung, masih sempat mereka bagi demi kebersamaan. Saya jadi teringat masa kecil. Dulu setiap hari Jum’at, anak-anak perempuan diberi tugas oleh guru ngaji untuk menarik beras “perelek” dari rumah ke rumah. Beras “perelek” ini berfungsi sebagai iuran sukarela warga untuk kepentingan mesjid dan kegiatan pengajian karena di kampung kami anak-anak yang mengaji tidak dipungut iuran bulanan. Ukurannya tidak lebih dari satu cuntang (secangkir), setengahnya, bahkan tidak sama sekali ketika warga memang sedang kehabisan stok. Mayoritas penghasilan penduduk desa kami saat itu memang bertani tradisional, mengandalkan hidup dari hasil panen yang fluktuatif dan unpredictable. Alhamdulillah, warga yang mampu, para pegawai berpenghasilan tetap, secara rutin memberikan biaya untuk listrik dan sedikit membantu kehidupan guru ngaji kami.

Segelas beras memiliki arti kebersamaan yang indah. Menjadi sebuah tradisi solidaritas yang mulia, bentuk kepedulian lewat cara sederhana dan biasa, tetapi memiliki manfaat dan arti luar biasa bagi kelangsungan hidup dan kepentingan bersama. Segelas beras yang menjadi potret kebersahajaan pola pikir masyarakat kecil dalam upaya memupuk, menjaga, membudayakan, melestarikan nilai-nilai kebersamaan dan gotong-royong di tengah hegemoni individualisme. Refleksi kepedulian sosial kaum pinggiran terhadap kerukunan dan keharmonisan interaksi sosial. Bentuk sedekah yang indah dari kaum yang sering kali dianggap lemah. Semoga kita bisa terus belajar menghayati dan mengamalkan arti kebersamaan dalam segelas beras itu hingga masa mendatang. (Nia Hidayati)

8 Replies to “Arti Kebersamaan dalam Segelas Beras Perelek”

  1. Hanya satu kalimat: Luar biasa…tulisan anda begitu menggugah, gimana caranya agar menulis produktif seperti teh Nia ini.
    Aku menemukan pencerahan disini. Sungguh..!!!

  2. mba,kami komunitas anak muda yang sedang mencoba menghidupkan kembali budaya perelek.mohon do’a nya ya,,

  3. terharu…..dan membuat saya harus semangat kembali untuk membudayakan dalam peningkatan kebersamaan,itu adalah contoh sepele tetapi sangat berarti bagi mereka yg membutuhkan.

  4. tulisan yang benar-benar bagus,terimakasih telah berbagi informasi yang sangat bermanfaat ini,setidaknya dengan ini saya mampu menghidupkan kembali semangat saya untuk membaca dan memperbaiki diri..salam kenal dan terimakasih

  5. hatur nuhun teh, kebetulan ada tugas kampus yang berkaitan dengan traditional institution untuk pengembangan microfinance, mohon ijin untuk jadi referensi ya….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *