Lagi…lagi… dan lagi…saudara serumpun itu mengusik cerita luka yang pernah ada.
Negeri Jiran itu, memang sudah tak lagi perawan untuk diperdebatkan dalam berbagai komentar pro-kontra. Caplok, klaim dan kontradiksi sudah berdengung sejak lama di hampir setiap ranah, mulai dari masalah teritorial, masalah yang menyangkut sosial, hukum, dan hubungan politis bilateral (TKI), hingga yang paling kentara soal budaya. Di masa lalu, kita boleh berbangga sebagai bangsa yang kaya SDA dan budaya, dipuja dan disegani negara-negara tetangga, seperti Malaysia. Namun, semua itu tak cukup menjamin keharmonisan hubungan antarbangsa. Kebanggaan tanpa keberdayaan yang terpelihara hanya akan membuat kita lena dalam ketidakberdayaan. Dulu dianggap saudara, kini seperti sandera.
Bangsa Indonesia kerap terluka dengan ulah Malaysia, tapi luka itu tak pernah benar-benar menjadi pelajaran berharga. Cerita luka yang sama selalu berulang, menjadi episode sakit hati anak negeri dari generasi ke generasi. Setumpuk opini, aspirasi bahkan petisi lintas generasi mungkin hanya akan menjadi lembar-lembar narasi yang didokumentasi, jika para pengelola negeri tak benar-benar melakukan sebuah aksi-solusi. Perang kata-kata tidak akan menyelesaikan perkara, tetapi sebagai warga negara, semua boleh bicara mengungkapkan opini atas fakta yang ada.
Seharusnya, sudah sejak lama kita melakukan tindakan antisipatif terhadap status keragaman budaya kita. Perlindungan terhadap karya di negara kita memang masih terbilang lemah, sehingga eksistensi dan kelestariannya terancam punah. Budaya merupakan identitas bangsa yang patut mendapatkan perhatian dan jaminan hukum melalui HAKI. Kejadian seperti ini merupakan cambuk untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan budaya.
Sambil menunggu dan melihat perkembangan sikap politis pemerintah, tak ada salahnya kita belajar, mengkaji kasus ini dari berbagi sisi, sekaligus sebagai koreksi dan introspeksi diri. Kasus ini menyangkut berbagai dimensi bangsa yang saling berkaitan.
1. Kasus ini merupakan teguran atas kepedulian dan nasionalisme bangsa kita yang selama ini sering dipertanyakan. Kejadian ini bisa dijadikan momentum dan cambuk kebangkitan rasa dan jiwa nasionalisme kita untuk melindungi bangsa dan kekayaan intelektual bangsa kita karena nasionalisme yang tinggi akan menentukan posisi dan eksistensi sebuah bangsa.
2. Dengan kasus ini, kita harus mulai mengaktifkan peningkatan apresiasi terhadap seni budaya bangsa sendiri, mulai peduli dan benar-benar menjaga kelestariannya dengan berbagai upaya yang kita bisa. Pemerintah pun harus lebih peduli terhadap kelangsungan kehidupan seni budaya lokal nasional, peduli terhadap nasib para seniman dan budayawan terutama seniman dan budayawan tradisional, dengan melindungi dan mempatenkan seni-budaya yang kita miliki sebagai kekayaan intelektual bangsa. Pelestarian kebudaya sebagai aset bangsa tidak cukup dengan slogan atau iklan, tetapi butuh jaminan kepastian hukum dan pemberdayaan yang regenaratif, memberdayakan generasi muda untuk mau mewarisi dan memelihara kelestarian budaya bangsanya sebagai identitas bangsa. Rasa memiliki akan mendorong apresiasi dan akan menjamin eksistensi.
3. Kasus ini juga merupakan teguran bagi pemerintah sebagai penyelenggara dan pengelola negara untuk lebih memberdayakan rakyatnya. Jika saja keadilan ekonomi itu merata, pengelolaan dan pemanfaatan SDA untuk sebesar-bear kepentingan rakyat benar-benar diimplementasikan, tak perlu banyak TKI yang menjadi korban kekerasan, penyiksaan dan penindasan. Kualitas SDM yang rendah, minimnya jaminan perlindungan hukum warga negara kita di luar negeri, membuat bargaining position (posisi tawar-menawar) kita lemah di tingkat international, sehingga mereka berani menghina harga diri bangsa, dan berani mengusik kedaulatan bangsa kita. Keberadaan dan kualitas TKI di luar negeri sedikit banyak mencerminkan kondisi dalam negeri kita.
4. Klaim Malaysia merupakan peringatan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan, dan tidak semua pulau terjamin keamanan, kedaulatan dan keutuhan wilayahnya. Banyak penduduk yang tinggal di pulau terluar Indonesia kurang terpedulikan, kurang terperhatikan kondisi sosial ekonominya. Hal ini bisa menjadi potensi separatis dan pencaplokan kembali karena Malaysia mampu melihat peluang kelemahan kita. Kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan harus menjadi pelajaran bahwa keutuhan wilayah NKRI tidak hanya berpatokan kepada keabsahan peta wilayah dan hukum teritorial. Dalam kasus Sipadan-Ligitan, Mahkamah Internasional justru menggunakan kaidah pembuktian yang tidak berdasarkan materi hukum, yakni kehadiran yang terus-menerus di tempat itu (continuous presence), pendudukan yang efektif (effective ocupation) dan pemeliharaan ekologi (ecology preservation). Kenyataannya, pemerintah Malaysia lebih serius memberdayakan potensi alam kedua pulau tersebut dengan membangun prasarana pariwisata di sana. Dari kasus ini saja semestinya pemerintah sebagai manifestasi rakyat lebih berbenah. Potensi pulau-pulau terluar RI perlu dikembangkan untuk memnuhi rasa keadilan secara ekonomi, politik dan sosial masyarakat Indonesia yang ada di sana. Dalam hal ini, kepekaan dan agresivitas untuk mengembangkan wilayah perbatasan perlu dilakukan agar tidak keduluan lagi oleh Malaysia.
Menghadapi klaim Malaysia tak cukup hanya dengan diskusi dan menunggu datangnya permintaan maaf secara resmi. Kalau pun diplomasi, harus ada tindak lanjut yang nyata berupa “tindakan” politis yang membuat Malaysia jera. Yang pasti ketegasan sikap, keberanian mengambil risiko, serta bertindak nyata untuk mempatenkan seni-budaya Indonesia sebagai identitas bangsa merupakan wujud kesungguhan memelihara identitas bangsa, dan rasanya bukan suatu tindakan yang berlebihan. Bagamanapun, klaim Malaysia itu akan menyisakan luka jika tidak segera diobati.
pertamax . .. .!!
nice post , nice comment, nice page,. .
congrats !