Pendidikan seks sudah bukan bahasan baru di kalangan ahli pendidikan dan pakar seksologi. Pemahaman akan pentingnya pendidikan seks perlu dimiliki siapa saja, termasuk para guru dan orang tua. Membicarakan seks dengan si kecil bukan lagi masalah tabu atau tidak tabu, tetapi lebih kepada pengenalan dan perlindungan diri untuk bekal pribadinya kelak.
Bicara seks tidak selalu diasumsikan dengan sesuatu yang porno atau jorok karena jika dilihat dari arti katanya secara harfiah, khususunya dalam bahasa Inggris, seks itu menunjukkan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Berkaitan dengan hal itu, pendidikan seks penting untuk dilakukan karena memiliki manfaat bagi orang tua dan anak.
Pertama, anak dapat mengenal identitas dirinya karena secara tidak langsung, pendidikan seks mengajarkan tentang gender. Si kecil yang perempuan harus diajarkan untuk bias membedakan dirinya dengan teman-temannya yang laki-laki, sehingga ia memiliki batasan-batasan tertentu dalam pergaulannya dengan lawan jenis ataupun sesama jenis, serta bias menunjukkan kelaki-lakiannya atau keperempuanannya dan mengenali diri kelelakiannya atau keperempuanannya.
Kedua, pendidikan seks membantu dalam pembentukan kepribadian anak, terutama dalam pola tingkah laku, cara bersikap dan gesture-nya kelak. Pendidikan seks mengajarkan cara memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan sebagaimana mestinya, mulai dari cara berpakaian, cara bersikap, cara berbicara, cara mengenal dan melindungi organ-organ pentingnya, serta jenis mainan yang sesuai. Meskipun kesetaraan gender berlaku umum, untuk hal ini, ada pengecualian karena berkaitan dengan perkembangan kepribadian anak. Jangan sampai karena salah pola asuh, anak laki-laki bersikap dan berkepribadian seperti perempuan atau pun sebaliknya.
Ketiga, dengan menerapkan pendidikan seks sejak dini, anak diajarkan untuk bertanggung jawab, belajar menjaga diri, serta menghargai diri sendiri dan orang lain. Sejak kecil orang tua seharusnya sudah melakukan pembelajaran mengenai perbedaaan anak laki-laki dengan anak perempuan. Misalnya, mengapa anak laki-laki pipisnya berdiri, sedangkan anak perempuan harus jongkok. Mengapa anak laki-laki diberi mainan mobil-mobilan, sementara anak perempuan diberi boneka, anak perempuan pakai rok, anak laki-laki pakai celana panjang, bahkan menanamkan pemahaman agar anak mengerti bagian-bagian seksual yang tidak boleh disentuh sembarangan orang, kecuali oleh ibunya saat memandikannya. Ketika menjelang akil balig, anak perempuan pun harus diberi pemahaman bahwa ia akan mengalami menstruasi, mengalami proses perkembangan organ-organ tubuh, sehingga tidak boleh bergaul atau berhubungan sembarangan dengan lawan jenis.
Tabu seringkali menjadi kendala besar dalam mengenalkan pendidikan seks kepada anak, sehingga tidak sedikit anak yang mencoba mencari tahu sendiri dengan menonton video porno, membaca buku-buku yang menjurus jorok atau gambar-gambar yang tidak pantas dilihat. Padahal, mengkomunikasikan pendidikan seks dengan anak tidak harus selalu membicarakan yang berbau porno. Memilihkan pembalut yang tepat, memberi tahu cara mengatasi nyeri haid, menyediakan bra yang pas untuk anak perempuan itu sudah menjadi indikasi penerapan pendidikan seks.
Rasulullah SAW pun pernah memberikan contoh dan pengajaran mengenai pendidikan seks, seperti harus memisahkan tempat tidur anak laki-laki dengan perempuan, melarang bertelanjang diri sekalipun dihadapan sesama jenis, mengajarkan cara bersuci dan tanda-tanda akil balig, serta yang paling penting penanaman moral dan akhlak. Pendeknya, pendidikan seks itu harus dilakukan secara marathon dan disesuaikan dengan perkembangan usia anak.