Oleh: Nia Hidayati
Siang ini panas terik. Tiara mengayuh sepedanya perlahan-lahan karena lelah kepanasan. Jarak sekolah dengan rumahnya memang tidak terlalu jauh, tetapi kalau hari panas, Tiara sering kelelahan. Tiara menyeka mukanya dengan saputangan sambil bertepi. Baju seragamnya basah oleh keringat.
Di bawah pohon akasia yang rindang dia berteduh sambil mengipasi badannya dengan buku tulis tipis. Sesekali dia lambaikan tangan mungilnya kepada teman-temannya yang naik sepeda melewatinya.“Duh, gerah sekali, haus lagi. Apa mereka tidak kepanasan ya.” gumamnya sambil mengeluarkan sebotol kecil air dari dalam tasnya. Saat akan meneguk air, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu. Ia melihat seorang kakek yang sedang menarik gerobak sampah. Kakek itu berhenti dan duduk di bawah pohon dekat Tiara. Dia tampak kepanasan dan kehausan. Dibukanya topi lusuh yang sudah robek di bagian kepalanya untuk mengipasi badannya. Keringat bercucuran, membasahi mukanya yang keriput.
“Minum ini, Kek! Pasti Kakek haus.” Tiara menyapa sambil menyodorkan sebotol air yang tidak jadi diminumnya. “Tidak usah, nak! Terima kasih, kamu juga pasti haus!” kakek itu menolak tawaran Tiara.”Tidak apa-apa, Kek. Kakek saja yang minum. Masih utuh, kok!” Tiara kembali menawarkan minumannya sambil tersenyum tulus. “Terima kasih ya, nak! Kamu baik sekali!” jawab si Kakek. Diminumnya air yang disodorkan Tiara hingga habis. Tiara merasa kasihan melihat kakek itu. “Ya… airnya habis, nak! Kakek ganti Aqua gelas, ya? Sebentar, Kakek ke warung dulu!” Kakek itu berkata penuh rasa bersalah. Tiara menggelengkan kepalanya. “Tidak usah, Kek! Rumahku sudah dekat, kok. Kakek duduk saja!” Kakek itu tersenyum haru. “Siapa namamu, nak? Kamu kelas berapa?” tanya si Kakek. “Saya Tiara, Kek. Sudah kelas tiga di SD Kedondong. Kakek boleh panggil aku Tia saja.” jawab Tiara sambil mengulurkan tangan mungilnya. Kakek itu menyambutnya sambil menyebutkan namanya. “Kakek Fatah. Kamu anak pintar.” pujinya sambil tersenyum.
Sambil berteduh, Kakek Fatah menceritakan kisah hidupnya. Kakek bekerja menjadi penarik sampah setelah 6 tahun lalu diberhentikan dari pekerjaannya sebagai satpam di sebuah pabrik karena bangkrut. Setahun kemudian, istri dan kedua anaknya meninggal dalam sebuah kecelakaan kereta api ketika mereka akan pulang kampung. Sekarang Kakek tinggal di perkampungan dekat pasar. Ia sebatang kara. Tiara sangat terharu mendengar cerita Kakek Fatah. Walaupun keluarganya hidup sederhana, Tiara merasa bersyukur bisa makan kenyang, tidur nyenyak, punya rumah, bisa sekolah dan memiliki orang tua yang menyayanginya.
“Sudah siang sekali, nak Tia. Nanti ibumu khawatir kalau kamu terlambat pulang.” Kakek Fatah berkata sambil berdiri. “Terima kasih atas airnya ya, nak! Semoga Allah membalas kebaikanmu! Kakek harus melanjutkan pekerjaan.” lanjutnya. Tiara juga berdiri membenahi tas dan sepedanya sambil berkata.”Sama-sama, Kek. Amin.” Setelah berpamitan, Kakek Fatah berjalan perlahan-lahan menarik gerobaknya. Tiara menatap kepergian Kakek Fatah dengan perasaan kasihan. Kakek pasti kesepian tinggal sendirian. Kakek pasti kesakitan menarik gerobak itu karena Kakek sudah tua. Kakek pasti kepanasan karena topinya sudah robek. Dikayuhnya sepeda dengan hati risau akan nasib Kakek Fatah.
Tiba di rumah, Bu Ade, ibunya Tiara menegur Tiara yang terlambat pulang. Tiara menceritakan semuanya. Ibunya merasa bangga dan terharu dengan Tiara. “Kita harus bersyukur, nak! Hidup kita masih lebih baik daripada Kakek itu.” Ibu berkata sambil mengusap-usap kepala Tiara. Tidak disangkanya, putrinya yang keras kepala begitu peduli terhadap sesama. “Sekarang Tia makan dulu, shalat dan istirahat ya, sayang!” suruh ibunya. “Ya, Bu.” sahutnya pelan. Ada sedikit lega dan bahagia di hatinya karena bisa menolong orang lain.
Sudah seminggu Tiara tidak bertemu Kakek Fatah. Tiara merasa kehilangan. Biasanya setiap pulang sekolah dia bertemu Kakek di bawah pohon ini. Tiara senang mendengar cerita, lawakan atau dongeng Kakek. Kakek juga sering memberinya beberapa butir permen atau kue pasar. Seminggu yang lalu, Kakek berjanji akan mengajak Tiara ke rumahnya dan akan memberikan sesuatu untuknya. Tiara sangat senang mendapat ajakan Kakek. Tiara sudah membungkus hadiah untuk Kakek. Selama kenal Kakek, Tiara selalu menyisihkan uang jajannya dan menabungnya. Tiara ingin sekali membelikan Kakek sebuah topi bundar yang lebar supaya Kakek tidak kepanasan kalau menarik gerobak. Sudah dua jam Tiara menunggu, Kakek Fatah belum juga datang.
“Neng Tiara, ya? Menunggu Kakek Fatah, ya neng?” seorang laki-laki penarik sampah menyapa Tiara. Tiara terkejut. ”Oh..eh i..i.. ya aku Tiara. Bapak siapa?” Laki- laki itu tersenyum.”Saya Mang Odik, Neng. Saya yang menggantikan Kakek narik sampah.” jawabnya.”Lho, memang Kakek kenapa Mang?” tanya Tiara. “Sudah seminggu Kakek sakit, tidak kuat bangun, Neng.” jawab Mang Odik. Tiara kaget. Dia bertanya penuh kekhawatiran. “Kakek sakit apa, Mang? Sudah ke dokter, belum?” Mang Odik diam sejenak, menarik nafas panjang. “Dari mana biayanya, Neng? Buat makan saja susah.” Tiara tertunduk sedih. Seandainya dia punya banyak uang, Kakek pasti bisa segera dibawa ke dokter. “Neng, Mamang bawa titipan dari Kakek. Ini, tolong diterima!” Mang Odik berkata sambil menyerahkan bungkusan kepada Tiara. Tiara menerima bungkusan itu dengan muka muram. “Terima kasih, Mang! Aku mau menengok Kakek. Mamang bisa mengantarku?” Mang Odik ragu, tetapi akhirnya mengangguk. “Ya sudah, tapi agak jauh dari sini.” Mang Odik berjalan sambil menarik gerobaknya. Tiara mengikutinya dengan bersepeda perlahan-lahan. Hatinya sedih.
Gubuk Kakek Fatah terletak di ujung gang sempit perkampungan pemulung di dekat pasar. Ketika Tiara dan Mang Odik sampai, gubuk kecil Kakek dipenuhi banyak orang. Muka mereka terlihat sedih. Tiara menyandarkan sepeda sekenanya. Berlari ke dalam gubuk Kakek, tanpa mempedulikan kerumunan orang. ”Kek, Kakek..ini Tiara! Kakek tidak apa-apa kan?” Tiara berteriak sambil menangis. Tangisnya semakin keras ketika melihat tubuh Kakek terbujur kaku. “Kek, ini topi untuk Kakek..hik hik..supaya..hik hik..Kakek tidak kepanasan…hk…hk…kalau narik sampah.” ujarnya tersedu-sedu sambil meletakkan topi lebar itu di samping jasad Kakek. Mang Odik dan orang- orang di gubuk itu ikut terharu. ”Neng, sudahlah jangan nangis lagi. Kakek pasti senang dapat hadiah dari Neng Tiara. Kami juga merasa sedih kehilangan Kakek.” Mang Odik berkata sambil menepuk-nepuk bahu Tiara. Seorang ibu setengah baya memapah Tiara keluar gubuk. Beberapa lelaki muda mengusung jasad Kakek untuk dimakamkan.
Selesai pemakaman Tiara pulang diantar Mang Odik. Topi lebar untuk Kakek diberikannya kepada Mang Odik. Hatinya sedih dan terharu ketika membuka bungkusan dari Kakek. Sebuah buku cerita yang sudah usang, tetapi masih bisa dibaca.”Terima kasih, Kek. Semoga Allah membalas kebaikan Kakek!” doanya dalam hati. (Nia Hidayati, Jakarta, 26 Juni 2004)
tidak disengaja aku baca cerpen ini, disaat serching cara-cara menghalau rasa bosan..semoga cerpen ini membuat rasa syukur semakin tinggi dan menjadi inspirasi…thanks a lot..